Selasa, 14 Januari 2014

Cerita Pendek : Kisah Prajurit dan Gadis Masa Kecilnya


Setelah sebelas tahun berpisah, disebuah lounge, prajurit dan gadis masa kecilnya bertemu kembali. Di siang menjelang petang itu, lounge tersebut belum didatangi banyak pelanggan. Gadis itu sengaja memilih waktu demikian untuk temu janji. Karena, sebagai pelanggan lounge, ia mengetahuo dengan pasti kapan waktu yang tepat untuk berkunjung, supaya tak terganggu dengan bisingnya para pelanggan lain.
            “Sudah lama menunggu?” prajurit itu bertanya, sambil buru-buru melepar senyum, setibanya dihadapan wanita yang terakhir kali ia temui sebelas tahun lalu itu, masih sebagai gadis kecil.
            “Santai saja. Baru beberapa menit.” Gadis itu membalas senyumannya kemudian berdiri dan menempelkan pipi kanan kirinya kepada pipi kanan kiri prajurit itu.
            Prajurit duduk, kemudian menanggalkan baret militernya. Dengan badan tinggi besar dalam balutan seragam yang tersetrika rapi, ia terlihat begitu berwibawa, sangat berbeda dari tampilan masa kecilnya yang lusuh dengan badan kerempeng kurang gizi.
            “Wah, kamu pria dewasa sekarang.”
            “Kau jugam sudah menjadi wanita yang matang.”
            Tawa lepas keduanya pecah menanggapi dua pernyataan itu.
            “Mau pesan apa?” gadis itu bertanya.
            “Lemon tea saja.”
            Gadis itu memesankan pesanan itu bersama pesanannya pada pelayan “ Lemon tea satu sama mojito satu”
            Prajurit sangat asing dengan pesanan gadis itu. Mengetahui bahasa wajah prajurit, gadis itu berinisiatif untuk menjelaskan, “ Mojito itu jenis cocktail khas Kuba.”
            “Oooo,, begitu.”
            “Mau minum juga?”
            “Tak usah”
            Pesanan daang, gadis itu langsung menyambar gelas cocktailnya. Sambil tetap bercerita, ia tampak begitu menikmati minuman beralkohol itu.
            Sambil menyeruput teh pesanannya, prajurit itu memperhatikan wajah si gadis. Ia bersyukur, kecantikan itu tak pernah luntur. Gadis itu tersenyum, sadar akan perhatian prajurit itu.
            Prajurit tergoda untuk memberikan sedikit komentar pada apa yang tengah dipertontonkan gadis itu dihadapannya. Sesungguhnya, ia tak pernah membayangkan dia akan menjadi gadis metropolis seperti ini. Namun, prajurit mengurungkan niatan itu, karena sampai kapanpun, apa pun keadaannya, ia tetap menganggap gadis itu sebagai gadis masa kecilnya.
            Mereka terus berbincang santai, mengenang cerita-cerita masa lalu.
            Dua anak kecil berseragam putih merah duduk diatas rongsokan sebuah meriam tua peninggalan Belanda. Sebagaimana moncong tembak meriam itu, mereka berdua juga menghadap kearah laut. Angin laut yang makin pekat asinnya, tak juga membuat mereka berdua segera pulang ke rumah. Sementara kawan-kawan mereka sudah pulang beberapa jam sebelumnya. Mereka berdua masih asik menikmati suasana senja,sambil bercakap-cakap mengenai cita-cita.
            “Aku suka laut. Tapi, aku tak mau jadi nelayan seperti bapakku.”
            “Lantas kamu mau jadi apa?”
            “Aku mau jadi tentara laut.”
            “Mengapa tentara laut?”
“Aku suka laut dan aku benci penjajah. Kalau aku jadi tentara, aku bisa ikut mengusir mereka, jika datang lagi dari arah laut.”
“Mulia sekali cita-citamu.”
“Kalau kau, mau jadi apa?”
“Aku suka pengetahuan dan membaginya, aku mau jadi guru.”
Hari itu mereka berdua sama-sama mendapatkan kabar kelulusan. Pertemuan ini adalah pertemuan terakhir mereka. Sebab, esok paginya, gadis itu langsung akan berangkat ke Makasar, tanah kelahiran  orang tuanya.
Ayah dan ibu gadis itu datang dari Pulau Sulawesi, tujuh belas tahun sebelumnya. Dengan usaha penjualan buah-buahan dan sembako yang cukup berhasil di tanah rantau ini, suami istri itu mampu membangun perekonomian keluarga yang cukup mapan, meski memiliki sebelas anak. Sementara orang tua bocah lelaki adalah sepasang suami-istri nelayan, penduduk asli Tarakan, kota pulau itu. Bocah lelaki itu adalah satu-satunya anak mereka.
Gadis itu turun dari Meriam dan berlari menuju pasir putih. Ia meraih buih-buih sisa ombak dan ia main-mainkan dengan tangan. Ia tertawa, ia berputar-putar riang, sambil meniup-niup buih itu.
Bocah lelaki itu hanya memperhatikan dari kejauhan. Dalam siraman sinar keemasan sisa matahari senja, ia seperti menyaksikan seorang anak gadis yang tengah menari di atas panggung, disoroti lampu yang terang benderang indah. Begitulah, tak sedikit pun gerak-gerik gadis itu yang luput dari perhatiannya.
Ia tersentak dan bangun dari duduknya, setelah mendengarkan teriakan tiba-tiba gadis itu. Ia meloncat, lantasa berlari menghampiri gadis itu dan sejurus kemudian ia segera tahu bahwa ada seekor kepiting ukuran sedang yang menjempit jempol kaki kirinya. Ia segera mengambil ranting dan dengan cekatan menjinakkan jepit kepiting itu. Ia berhasil melepaskan jepit kepiting dari jempol gadis itu, tanpa harus membunuh kepitingnya.
Tersisa dua lubang kecil yang mengucurkan darah segar. Dimintanya gadis itu duduk dipasir dan segera ia mengisap jempol itu, berharap bisa menghentikan darah.
Peristiwa disebuah petang, sebelas tahun yang lampau itu, membuat mereka berdua tertawa lepas. Tak ada diantara keduanya yang bisa melupakan. Pertemuan kali ini adalah pertemuan pertama setelah perpisahan itu. Selulus mereka dari sekolah dasar, gasis itu melanjutkan sekolah menengah pertamanya di Makassar. Kebetulan, neneknya tinggal sebatang kara di kota itu. Atas permintaan orang tuanya dan juga neneknya, dia akhirnya melanjutkan study disana, sekaligus menemani neneknya sampai lulus sekolah mengengah atas.
Sementara gadis itu ke Sulawesi, bocah lelaki itu tetap melanjutkan sekolah menengah pertama dan menengah atasnya di Tarakan. Dalam masa perpisahan ini, bocah lelakiitu tak pernah bisa melupakan gadis itu. Rongsokan meriam tua peninggalan Belanda selalu menjadi tempatnya untuk menghabiskan waktu. Dia belajar di sana, merangkai mimpi disana dan memikirkan dunia dengan cara yang berbeda juga disana. Dan, disanalah ia selalu memikirkan gadis itu, yang akhir-akhir ini tak lagi membalas surat-surat yang ia kirimkan. Sudah sepuluh surat tak terbalas, ia sempat berpikir gadis itu sepertinya milai melupakannya dan telah menemukan bocah lain yang mungkin akan menjadi suami pada masa dewasa kemudian.
Namun, semua pikiran jahat itu ia tepis. Ia selalu percaya, suatu saat mereka berdua akan bisa menjadi sepasang suami-istri yang tak pernah luput dilanda kebahagiaan. Meski sempat ragu, ia yakin gadis itu juga mencintainya, sebagaimana ia mencintai gadis itu. Petang itu, sebelum pulang, ia tersenyum melihat gambar dan tulisan arang yang pernah ia tulis pada salah satu bagian rongsokan meriam itu. Sebuah gambar hati yang didalamnya tertulis nama mereka berdua dilengkapi dengan tulisan “Forever Love” di bawahnya.
Setelah lulus sekolah menengah atas, bocah lelaki yang menjelma menjadi pemuda sehat tinggi besar, mendaftarkan diri mengikuti pendidikan di Akademi TNI Angkatan Laut Surabaya. Ia lulus tes dan menempuh pendidikan selama hamper empat tahun sebagai kadet dan telah pula menjalani pendidikan tujuh bulan sebagai Perwira Siswa. Sebentar lagi, ia akan dilantik dengan pangkat Letnan Dua dalam Korps Pelaut. Sebelum dilantik, ia bersama prajurit lain akan dikirim dalam misi perdamaian PBB di Lebanon.
Beberapa hari yang lalu, ia mudik ke Tarakan dan bertemu dengan sanak keluarga, juga orang tua gadis itu. Dari orang tua gadis itu, ia mengetahui gadis itu tidak pernah pulang ke Tarakan sampai sekarang, karena kedua orang tuanyalah yang setiap tahun mudik ke Makassar.
Prajurit berhasil mendapatkan nomor telepon genggamnya dan sejurus kemudian, ia melakukan percakapan panjang dengan gadis itu, yang diakhiri dengan rencana bertemu di Jakarta, sebelum prajurit itu berangkat ke Lebanon bersama pasukan.
Dari Surabaya kapal perang yang akan membawa prajurit itu ke Lebanon, merapat di Jakarta selama beberapa hari sebelum bertolak. Kala menginjak kaki di Jakarta, prajurit itu merasakan sebuah debar bahagia taida banding. Bagaimana pun, sampai saat ini ia tak pernah luput memikirkan gadis itu. Meski lama tak bertemu, ia tetap mencintainya, sampai kapanpun. Ia tak ragu memutuskan bahwa pertemuan ini adalah momen yang tepat baginya untuk melamar gadis itu.
Setelah perbincangan mengenai masa lalu berakhir, prajurit itu memberanikan diri menyampaikan ketertarikannya pada gadis itu dan terus terang mengatakan bahwa semenjak kecil ia sudah begitu mencintainya, meski masih dengan kadar cinta monyet. Sebagai kesimpulan dari pengantar itu, prajurit mengajak gadis itu bersatu bersamanya membangun keluarga baru sepulangnya dari Lebanon.
Mendengarkan ajakan itu,gadis iu menderaikan tawa. Tak ada getaran dalam dadanya. Tak ada perasaan tertentu yang memaksanya terkejut. Sama seperti sebelum perpisahan mereka sebelas tahun yang lalu, ia juga tidak merasakan apa-apa, kala prajurit yang masihlah bocah lugu menyatakan perasaan cinta padanya, sehabis mengisap jempol kakinya.
Telepon genggam gadis itu mendadak berbunyi. Tampaknya, sudah ada orang lain yang menantinya. Sehabis menutup telepon, gadis itu buru-buru berpamitan dan merasa tak perlu menghiraukan ajakan menikah tadi. Gadis itu berlalu meninggalkan prajurit sendirian, setelah memberi upacan terimakasih dan doa selamat agar selalu dilindungi Tuhan dalam tugasnya di negeri orang.
Prajurit itu tetap duduk dikursi, sambil terus memperhatikan gadis itu sampai menghilang. Setelah gadis itu benar-benar lenyap dari penglihatan, ia mengambil baret militernya. Meski sudah mengenakannya, ia masih berat untuk melangkah kaki meninggalkan tempat itu. Pikirannya masih tertuju pada gadis itu. Ia merasa ada sesuatu yang menariknya begitu dalam, semacam kesedihan yang membuatnya ingin menangis.
Bagaimanapun, sampai sekarang, ia masihlah bocah pulau yang teguh berjalan diatas jalan menuju cita-cita masa kecilnya : menjadi tentara laut dan menikahi gadis itu. Meski demikian, gadis itu tak pernah tahu hal itu. Gadis itu tak pernah peduli, bahwa bocah nelayan bisa menjadi seperti sekarang justru berkat kekuatan cinta dan harapan padanya.

Tidak ada komentar: