Sabtu, 27 April 2013

Penyelesaian Sengketa


Sengketa dimulai ketika satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara formal yang berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.

1.    Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi merupakan proses tawar-menawar dengan berunding secara damai untuk mencapai kesepakatan antarpihak yang berperkara, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
2.    Mediasi
Proses penyelesaian sengketa antarpihak yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga (mediator) sebagai penasihat. Dalam hal mediasi, mediator bertugas untuk melakukan hal-hal sbb:
  1. Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi
  2. Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antarpihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama.
3.    Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga (konsiliator). Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa pun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak karena hal tsb diambil sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
4.    Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
  1. Salah satu pihak meninggal
  2. Salah satu pihak bangkrut
  3. Pembaharuan utang (novasi)
  4. Salah satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
  5. Pewarisan
  6. Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
  7. Bilamana pelaksanaan perjanjian tsb dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tsb
  8. Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase bersifat insidentil yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaan arbitrase ini hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai maka keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga permanen yang tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan yang ditangani telah selesai.
Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian, sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final, dibubuhi pemerintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan  pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan sbb:
  1. putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
  2. putusan arbitrase internasaional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan
  3. putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum
  4. putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri dimana permohonan tsb diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke MA mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tsb diterima oleh MA.
5.    Peradilan
Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.
6.    Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan keputusan presiden. Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Tugas dan wewenang pengadilan tinggi adalah mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara RI dan dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
MA bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus:
  1. Permohonan kasasi
  2. Sengketa tentang kewenangan mengadili
  3. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
  1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
  2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
  3. Lalai memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali (PK) pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yang diatur dalam perundang-undangan.
Permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut, permohonan PK tak dapat diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.

Perbedaan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Proses
Perundingan
Arbitrase
Ligitasi
yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
proses
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
jangka waktu
Segera (3-6 minggu)
Agak cepat (3-6 bulan)
Lama (>2 tahun)
biaya
Murah
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal & teknis
publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
hubungan para pihak
Kooperatif
Anatgonistis
Antagonistis
fokus penyelesaian
Masa depan
Masa lalu
Masa lalu
metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
Jalan buntu
result
Win-win
Win-lose
Win-lose
pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak

Tidak ada komentar: