Setelah
sebelas tahun berpisah, disebuah lounge, prajurit dan gadis masa kecilnya
bertemu kembali. Di siang menjelang petang itu, lounge tersebut belum didatangi
banyak pelanggan. Gadis itu sengaja memilih waktu demikian untuk temu janji.
Karena, sebagai pelanggan lounge, ia mengetahuo dengan pasti kapan waktu yang
tepat untuk berkunjung, supaya tak terganggu dengan bisingnya para pelanggan
lain.
“Sudah lama menunggu?” prajurit itu
bertanya, sambil buru-buru melepar senyum, setibanya dihadapan wanita yang
terakhir kali ia temui sebelas tahun lalu itu, masih sebagai gadis kecil.
“Santai saja. Baru beberapa menit.”
Gadis itu membalas senyumannya kemudian berdiri dan menempelkan pipi kanan
kirinya kepada pipi kanan kiri prajurit itu.
Prajurit duduk, kemudian
menanggalkan baret militernya. Dengan badan tinggi besar dalam balutan seragam
yang tersetrika rapi, ia terlihat begitu berwibawa, sangat berbeda dari
tampilan masa kecilnya yang lusuh dengan badan kerempeng kurang gizi.
“Wah, kamu pria dewasa sekarang.”
“Kau jugam sudah menjadi wanita yang
matang.”
Tawa lepas keduanya pecah menanggapi
dua pernyataan itu.
“Mau pesan apa?” gadis itu bertanya.
“Lemon tea saja.”
Gadis itu memesankan pesanan itu
bersama pesanannya pada pelayan “ Lemon tea satu sama mojito satu”
Prajurit sangat asing dengan pesanan
gadis itu. Mengetahui bahasa wajah prajurit, gadis itu berinisiatif untuk
menjelaskan, “ Mojito itu jenis cocktail khas Kuba.”
“Oooo,, begitu.”
“Mau minum juga?”
“Tak usah”
Pesanan daang, gadis itu langsung
menyambar gelas cocktailnya. Sambil tetap bercerita, ia tampak begitu menikmati
minuman beralkohol itu.
Sambil menyeruput teh pesanannya,
prajurit itu memperhatikan wajah si gadis. Ia bersyukur, kecantikan itu tak
pernah luntur. Gadis itu tersenyum, sadar akan perhatian prajurit itu.
Prajurit tergoda untuk memberikan
sedikit komentar pada apa yang tengah dipertontonkan gadis itu dihadapannya.
Sesungguhnya, ia tak pernah membayangkan dia akan menjadi gadis metropolis
seperti ini. Namun, prajurit mengurungkan niatan itu, karena sampai kapanpun,
apa pun keadaannya, ia tetap menganggap gadis itu sebagai gadis masa kecilnya.
Mereka terus berbincang santai,
mengenang cerita-cerita masa lalu.
Dua anak kecil berseragam putih
merah duduk diatas rongsokan sebuah meriam tua peninggalan Belanda. Sebagaimana
moncong tembak meriam itu, mereka berdua juga menghadap kearah laut. Angin laut
yang makin pekat asinnya, tak juga membuat mereka berdua segera pulang ke rumah.
Sementara kawan-kawan mereka sudah pulang beberapa jam sebelumnya. Mereka
berdua masih asik menikmati suasana senja,sambil bercakap-cakap mengenai
cita-cita.
“Aku suka laut. Tapi, aku tak mau
jadi nelayan seperti bapakku.”
“Lantas kamu mau jadi apa?”
“Aku mau jadi tentara laut.”
“Mengapa tentara laut?”
“Aku
suka laut dan aku benci penjajah. Kalau aku jadi tentara, aku bisa ikut
mengusir mereka, jika datang lagi dari arah laut.”
“Mulia
sekali cita-citamu.”
“Kalau
kau, mau jadi apa?”
“Aku
suka pengetahuan dan membaginya, aku mau jadi guru.”
Hari
itu mereka berdua sama-sama mendapatkan kabar kelulusan. Pertemuan ini adalah
pertemuan terakhir mereka. Sebab, esok paginya, gadis itu langsung akan
berangkat ke Makasar, tanah kelahiran
orang tuanya.
Ayah
dan ibu gadis itu datang dari Pulau Sulawesi, tujuh belas tahun sebelumnya.
Dengan usaha penjualan buah-buahan dan sembako yang cukup berhasil di tanah
rantau ini, suami istri itu mampu membangun perekonomian keluarga yang cukup
mapan, meski memiliki sebelas anak. Sementara orang tua bocah lelaki adalah
sepasang suami-istri nelayan, penduduk asli Tarakan, kota pulau itu. Bocah
lelaki itu adalah satu-satunya anak mereka.
Gadis
itu turun dari Meriam dan berlari menuju pasir putih. Ia meraih buih-buih sisa
ombak dan ia main-mainkan dengan tangan. Ia tertawa, ia berputar-putar riang,
sambil meniup-niup buih itu.
Bocah
lelaki itu hanya memperhatikan dari kejauhan. Dalam siraman sinar keemasan sisa
matahari senja, ia seperti menyaksikan seorang anak gadis yang tengah menari di
atas panggung, disoroti lampu yang terang benderang indah. Begitulah, tak
sedikit pun gerak-gerik gadis itu yang luput dari perhatiannya.
Ia
tersentak dan bangun dari duduknya, setelah mendengarkan teriakan tiba-tiba
gadis itu. Ia meloncat, lantasa berlari menghampiri gadis itu dan sejurus
kemudian ia segera tahu bahwa ada seekor kepiting ukuran sedang yang menjempit
jempol kaki kirinya. Ia segera mengambil ranting dan dengan cekatan menjinakkan
jepit kepiting itu. Ia berhasil melepaskan jepit kepiting dari jempol gadis
itu, tanpa harus membunuh kepitingnya.
Tersisa
dua lubang kecil yang mengucurkan darah segar. Dimintanya gadis itu duduk
dipasir dan segera ia mengisap jempol itu, berharap bisa menghentikan darah.
Peristiwa
disebuah petang, sebelas tahun yang lampau itu, membuat mereka berdua tertawa
lepas. Tak ada diantara keduanya yang bisa melupakan. Pertemuan kali ini adalah
pertemuan pertama setelah perpisahan itu. Selulus mereka dari sekolah dasar,
gasis itu melanjutkan sekolah menengah pertamanya di Makassar. Kebetulan,
neneknya tinggal sebatang kara di kota itu. Atas permintaan orang tuanya dan
juga neneknya, dia akhirnya melanjutkan study disana, sekaligus menemani
neneknya sampai lulus sekolah mengengah atas.
Sementara
gadis itu ke Sulawesi, bocah lelaki itu tetap melanjutkan sekolah menengah
pertama dan menengah atasnya di Tarakan. Dalam masa perpisahan ini, bocah
lelakiitu tak pernah bisa melupakan gadis itu. Rongsokan meriam tua peninggalan
Belanda selalu menjadi tempatnya untuk menghabiskan waktu. Dia belajar di sana,
merangkai mimpi disana dan memikirkan dunia dengan cara yang berbeda juga
disana. Dan, disanalah ia selalu memikirkan gadis itu, yang akhir-akhir ini tak
lagi membalas surat-surat yang ia kirimkan. Sudah sepuluh surat tak terbalas,
ia sempat berpikir gadis itu sepertinya milai melupakannya dan telah menemukan
bocah lain yang mungkin akan menjadi suami pada masa dewasa kemudian.
Namun,
semua pikiran jahat itu ia tepis. Ia selalu percaya, suatu saat mereka berdua
akan bisa menjadi sepasang suami-istri yang tak pernah luput dilanda
kebahagiaan. Meski sempat ragu, ia yakin gadis itu juga mencintainya,
sebagaimana ia mencintai gadis itu. Petang itu, sebelum pulang, ia tersenyum
melihat gambar dan tulisan arang yang pernah ia tulis pada salah satu bagian
rongsokan meriam itu. Sebuah gambar hati yang didalamnya tertulis nama mereka
berdua dilengkapi dengan tulisan “Forever Love” di bawahnya.
Setelah
lulus sekolah menengah atas, bocah lelaki yang menjelma menjadi pemuda sehat
tinggi besar, mendaftarkan diri mengikuti pendidikan di Akademi TNI Angkatan
Laut Surabaya. Ia lulus tes dan menempuh pendidikan selama hamper empat tahun
sebagai kadet dan telah pula menjalani pendidikan tujuh bulan sebagai Perwira
Siswa. Sebentar lagi, ia akan dilantik dengan pangkat Letnan Dua dalam Korps
Pelaut. Sebelum dilantik, ia bersama prajurit lain akan dikirim dalam misi
perdamaian PBB di Lebanon.
Beberapa
hari yang lalu, ia mudik ke Tarakan dan bertemu dengan sanak keluarga, juga
orang tua gadis itu. Dari orang tua gadis itu, ia mengetahui gadis itu tidak
pernah pulang ke Tarakan sampai sekarang, karena kedua orang tuanyalah yang
setiap tahun mudik ke Makassar.
Prajurit
berhasil mendapatkan nomor telepon genggamnya dan sejurus kemudian, ia
melakukan percakapan panjang dengan gadis itu, yang diakhiri dengan rencana
bertemu di Jakarta, sebelum prajurit itu berangkat ke Lebanon bersama pasukan.
Dari
Surabaya kapal perang yang akan membawa prajurit itu ke Lebanon, merapat di
Jakarta selama beberapa hari sebelum bertolak. Kala menginjak kaki di Jakarta,
prajurit itu merasakan sebuah debar bahagia taida banding. Bagaimana pun,
sampai saat ini ia tak pernah luput memikirkan gadis itu. Meski lama tak
bertemu, ia tetap mencintainya, sampai kapanpun. Ia tak ragu memutuskan bahwa
pertemuan ini adalah momen yang tepat baginya untuk melamar gadis itu.
Setelah
perbincangan mengenai masa lalu berakhir, prajurit itu memberanikan diri
menyampaikan ketertarikannya pada gadis itu dan terus terang mengatakan bahwa
semenjak kecil ia sudah begitu mencintainya, meski masih dengan kadar cinta
monyet. Sebagai kesimpulan dari pengantar itu, prajurit mengajak gadis itu
bersatu bersamanya membangun keluarga baru sepulangnya dari Lebanon.
Mendengarkan
ajakan itu,gadis iu menderaikan tawa. Tak ada getaran dalam dadanya. Tak ada
perasaan tertentu yang memaksanya terkejut. Sama seperti sebelum perpisahan
mereka sebelas tahun yang lalu, ia juga tidak merasakan apa-apa, kala prajurit
yang masihlah bocah lugu menyatakan perasaan cinta padanya, sehabis mengisap
jempol kakinya.
Telepon
genggam gadis itu mendadak berbunyi. Tampaknya, sudah ada orang lain yang
menantinya. Sehabis menutup telepon, gadis itu buru-buru berpamitan dan merasa
tak perlu menghiraukan ajakan menikah tadi. Gadis itu berlalu meninggalkan
prajurit sendirian, setelah memberi upacan terimakasih dan doa selamat agar
selalu dilindungi Tuhan dalam tugasnya di negeri orang.
Prajurit
itu tetap duduk dikursi, sambil terus memperhatikan gadis itu sampai
menghilang. Setelah gadis itu benar-benar lenyap dari penglihatan, ia mengambil
baret militernya. Meski sudah mengenakannya, ia masih berat untuk melangkah
kaki meninggalkan tempat itu. Pikirannya masih tertuju pada gadis itu. Ia
merasa ada sesuatu yang menariknya begitu dalam, semacam kesedihan yang
membuatnya ingin menangis.
Bagaimanapun,
sampai sekarang, ia masihlah bocah pulau yang teguh berjalan diatas jalan
menuju cita-cita masa kecilnya : menjadi tentara laut dan menikahi gadis itu.
Meski demikian, gadis itu tak pernah tahu hal itu. Gadis itu tak pernah peduli,
bahwa bocah nelayan bisa menjadi seperti sekarang justru berkat kekuatan cinta
dan harapan padanya.