Minggu, 28 April 2013

Menghitung Rasio Likuiditas, Solvabilitas dan Rentabilitas dari PT. Indofood Sukses Makmur Tbk


1.         Rasio Likuiditas
Adalah  menunjukkan  kemampuan suatu  perusahaan  untuk  memenuhi kewajiban  keuangannya  yang  harus segera  dipenuhi, atau  kemampuan   perusahaan  untuk memenuhi  kewajiban  keuangan pada saat ditagih (S. Munawir, 1995 hal 31).
Rasio  likuiditas  terdiri dari :
A.      Current Ratio
Current  Ratio adalah perbandingan  antara  aktiva lancar  dan utang  lancar (Miswanto dan Eko Widodo, 1998, hal 83).

Rumus  :
Current ratio = (Aktiva Lancar / hutang lancar) X 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
Current ratio tahun 2010  = ( Rp.14.873.999 / Rp. 12.460.512) x 100%
                                          = 1,193 %
Current ratio tahun 2009  = ( Rp. 14.040.719 / Rp. 13.648.759) x 100%
                                          = 1,028 %
Current  ratio  menunjukkan  kemampuan  perusahaan  untuk  membayar  utangnya  yang harus  segera  dipenuhi dengan mengunakan aktiva lancar yang dimilikinya.

B.      Cash Ratio  (Ratio Immediate Solvency)
Aktiva  perusahaan  yang paling  likuid  adalah  kas  dan  surat   berharga. Cash  ratio  menunjukkan  kemampuan  perusahaan  untuk membayar  utang  jangka  pendek  dengan  kas  dan surat  berharga  yang dapat   segera  diuangkan. Tidak terdapat  standar  likuiditas  untuk  cash  ratio sehingga  penilaiannya  tergantung  pada  kebijakan   manajemen.

Rumus  :
Cash Ratio = (Aktiva Lancar / Pinjaman Jangka Pendek) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
Cash ratio tahun 2010      = (Rp. 14.873.999 / Rp. 4.643.808) x 100%
                                          = 3,202 %
Cash ratio tahun 2009      = (Rp.14.040.719 / Rp.6.021.903) x 100%
                                          = 2,331 %

C.      Quick Ratio (Acid Test Ratio)
Quick ratio  merupakan rasio  antara   aktiva  lancar  sesudah dikurangi  persediaan  dengan  hutang lancar. Rasio ini  menunjukkan  besarnya  alat  likuid   yang paling cepat   bisa  digunakan  untuk melunasi     hutang lancar.  Persediaan  dianggap aktiva   lancar  yang paling   tidak lancar, sebab  untuk menjadi    uang tunai  (kas)  memerlukan  dua  langkah  yakni   menjadi piutang  terlebih dulu  sebelum menjadi kas.
Rumus :
Quick Ratio = ((Aktiva Lancar – Persediaan) / Hutang lancar)) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
Quick Ratio tahun 2010    = ((Rp. 14.873.999 – Rp.5.035.658) / 12.460.512)) x 100%
                                          = 0,789 %
Quick Ration tahun 2009  = ((Rp.14.040.719-Rp.6.137.113) / 13.648.759)) x 100%
                                          = 0,57 %

2.         Ratio Solvabilitas
Solvabilitas  suatu  perusahaan  menunjukkan  kemampuan  perusahaan  untuk  memenuhi  segala kewajiban   finansialnya  apabila  sekiranya   perusahaan  tersebut  pada saat itu  dilikuidasikan (Bambang Riyanto, 1995, hal 32).
Suatu  perusahaan yang solvable belum tentu likuid dan sebaliknya sebuah perusahaan yang insolvable belum tentu likuid.
Dalam  hubungan antara  likuiditas  dan solvabilitas  ada empat   kemungkinan  yang dapat   dialami  oleh perusahaan yaitu :
a.     Perusahaan yang likuid  tetapi insolvable
b.     Perusahaan  yang likuid  dan solvable
c.     Perusahaan yang solvabel  tetapi ilikuid
d.    Perusahaan  yang insolvabel  dan ilikuid
Tingkat   solvabilitas  diukur  dengan beberapa   rasio,  yaitu :

a.          Total Debt to Equity Ratio
Rumus:
Total Debt to Equity Ratio = (Total Hutang / Ekuitas Pemegang Saham) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
Total Debt to Equity ratio 2010       = (Rp.25.786.846 / Rp.10.743.420) x 100%
                                                         = 2,4%
Total Debt to Equity Ratio 2009      = (Rp.26.640.979 / Rp. 8.814.386) x 100%
                                                         = 3,02%

b.          Total Debt  to Asset  Ratio
Rumus :
Total Debt  to Asset  Ratio = (Total Hutang / Total aktiva) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
Total Debt  to Asset  Ratio 2010      = (Rp.25.786.846 / Rp.42.072.894) x 100%
                                                         = 0,612%
Total Debt  to Asset  Ratio 2009      = (Rp.26.640.979 / Rp.40.324.780) x 100%
                                                         = 0,660%

Makin kecil  prosentase ratio  ini berarti  makin    cepat perusahaan menjadi insolvabel. Tingkat   solvabilitas  dapat  dipertinggi  hanya dengan  jalan penambahan  modal sendiri dengan alternatif  sebagai berikut :
·         Menambah  aktiva tanpa  menambah  utang atau   menambah  aktiva relatif  lebih besar  daripada  bertambahannya  hutang.
·         Mengurangi  hutang  tanpa   mengurangi  aktiva  atau mengurangi  hutang  relatif  besar  daripada  berkurangnya  aktiva.

3.         Rasio  Rentabilitas
Rentabilitas  suatu  perusahaan  menunjukkan   perbandingan antara  laba  dengan aktiva   atau modal  yang menghasilkan  laba tersebut. Dengan kata  lain rentabilitas  adalah  kemampuan  suatu perusahaan  untuk menghasilkan laba  selama  periode  tertentu (Bambang Riyanto, 1997,     hal 35).
Adapun  cara penilaian  Rentabilitas  adalah :
a.      Gross Provit Margin (Margin Laba Kotor)
Rumus :
GPM = (Laba Kotor / Penjualan Bersih) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
GPM tahun 2010        = (Rp. 5.882.213 / Rp. 18.122.582) x 100 %
                                   = 0,324 %
GPM tahun 2009        = (Rp.4.721.119 / Rp. 18.077.450) x 100%
                                   = 0,261%

b.      Net Profit Margin (Margin laba kotor)
Rumus :
NPM = (Laba setelah pajak / Total Aktiva) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
NPM tahun 2010        = (Rp. 1.795.697 / Rp.18.122.582) x 100%
                                   = 0,099%
NPM tahun 2009        = (Rp. 1.203.519 / Rp. 18.077.450) x 100%
                                                = 0,066%

c.       Earning Power of Total Investment
Rumus :
EPTI = (Laba sebelum pajak / total aktiva) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
EPTI tahun 2010         = (Rp. 2.511.764 / Rp.42.672.894) x 100%
                                   = 0,058%
EPTI tahun 2009         = (Rp.1.789.737 / Rp.40.324.780) x 100%
                                   = 0,044%

d.      Return On Equity (Pengembalian Atas Equitas)
Rumus :
ROE = (Laba setelah pajak / ekuitas pemegang saham) x 100%

Hasil dari data laporan keuangan :
ROE tahun 2010         = (Rp. 1.795.697 / Rp. 10.743.420) x 100%
                                   = 0,167%
ROE tahun 2009         = (Rp.1.203.519 / Rp, 8.814.386) x 100%

Sabtu, 27 April 2013

Penyelesaian Sengketa


Sengketa dimulai ketika satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sengketa dapat diselesaikan melalui cara-cara formal yang berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari proses melalui pengadilan dan arbitrase atau cara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.

1.    Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi merupakan proses tawar-menawar dengan berunding secara damai untuk mencapai kesepakatan antarpihak yang berperkara, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
2.    Mediasi
Proses penyelesaian sengketa antarpihak yang bersengketa yang melibatkan pihak ketiga (mediator) sebagai penasihat. Dalam hal mediasi, mediator bertugas untuk melakukan hal-hal sbb:
  1. Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi
  2. Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antarpihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama.
3.    Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga (konsiliator). Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator berhak menyampaikan pendapat secara terbuka tanpa memihak siapa pun. Konsiliator tidak berhak membuat keputusan akhir dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak karena hal tsb diambil sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
4.    Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
  1. Salah satu pihak meninggal
  2. Salah satu pihak bangkrut
  3. Pembaharuan utang (novasi)
  4. Salah satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
  5. Pewarisan
  6. Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
  7. Bilamana pelaksanaan perjanjian tsb dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tsb
  8. Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase bersifat insidentil yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaan arbitrase ini hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai maka keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga permanen yang tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan yang ditangani telah selesai.
Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian, sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final, dibubuhi pemerintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan  pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan sbb:
  1. putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
  2. putusan arbitrase internasaional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan
  3. putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum
  4. putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri dimana permohonan tsb diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke MA mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tsb diterima oleh MA.
5.    Peradilan
Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.
6.    Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan keputusan presiden. Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Tugas dan wewenang pengadilan tinggi adalah mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara RI dan dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
MA bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus:
  1. Permohonan kasasi
  2. Sengketa tentang kewenangan mengadili
  3. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
  1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
  2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
  3. Lalai memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali (PK) pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yang diatur dalam perundang-undangan.
Permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut, permohonan PK tak dapat diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.

Perbedaan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Proses
Perundingan
Arbitrase
Ligitasi
yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
proses
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
jangka waktu
Segera (3-6 minggu)
Agak cepat (3-6 bulan)
Lama (>2 tahun)
biaya
Murah
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal & teknis
publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
hubungan para pihak
Kooperatif
Anatgonistis
Antagonistis
fokus penyelesaian
Masa depan
Masa lalu
Masa lalu
metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
Jalan buntu
result
Win-win
Win-lose
Win-lose
pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak